Sabtu, 31 Maret 2012

Audrey: Forgiven, But Not Forgotten


Siang ini aku melihatmu begitu ceria. Sapaan dan bicaramu sangat bersemangat. Aku tak ingin menelisik apa yang tengah terjadi, mungkin hasil ujianmu bagus atau kau telah memenangkan lotere berhadiah uang segunung.
                “Kau tahu, aku senang akhirnya bisa melalui semester ini dengan baik. Walau sedikit menderita dengan bahasa pengantar yang asing, tapi hasilnya tak mengecewakan.” Riak kegembiraan itu semakin membesar saja menari-nari di depan mataku.
                “Hmm, ceritanya pamer, nih.”
                Ketawa panjangmu kali ini tak memunculkan senyum di bibirku.
                “Ah, aku hanya pamer denganmu.”
                “Yang benar, nih?”
                “Hmmm, ya begitulah.”
                Aku tahu kamu berbohong. Bayangan percakapan akrabmu dengan seorang perempuan yang tak kukenal tetapi menjengkelkanku terbayang kembali. Namun aku berusaha mengusir perasaan itu sesegera kehadirannya. Aku tak ingin bertindak bodoh dengan membiarkan perasaanku tak menentu. Apalagi bila semuanya hanya didasarkan pada dugaan.
                “Jadi dirimu pasti mempunyai lebih banyak waktu untuk melanglang dunia antah berantah kita, kan?” Tanyaku berusaha menumbuhkan harapan.
                “Ah, tak selalu begitu. Ada beberapa hal yang harus kukerjakan.”
                “Misalnya?”
                “Aku harus mengantar salah seorang teman ke suatu kampung.”
                Mendadak hatiku tercekat, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata, namun terasa nyeri di ulu hati.
                “Teman kuliah, ya?” Tanyaku ragu.
                “Ya.”
`               Entah mengapa aku tahu benar siapa yang kaumaksud. Mungkin semacam naluri hewani karena teritorinya terganggu, mungkin karena tanda-tandanya telah kulihat secara samar-samar, mungkin karena dia selalu ada dalam satu bingkai foto denganmu (sesungguhnya aku menyesal telah mengikuti hasrat hatiku untuk menyimak satu per satu fotomu), mungkin juga karena aku masih teringat percakapanmu dengan perempuan itu tentang  perjalanan ke sebuah tempat yang kalian sebut dengan  desa di lereng gunung yang masih bersalju di awal musim ini. Ah, begitu banyak kemungkinan yang akhirnya aku anggap sebagai bukti-bukti yang mendukung kecurigaan. Dan semua kesalahan aku tumpukan pada daya ingatku, ya satu hal paling membantuku sekaligus kadang juga membuatku menderita adalah kemampuan mengingatku yang tajam, terutama bila menyangkut memori jangka panjang dari hal-hal yang aku anggap penting atau menarik perhatianku.
                “Ehm, kalian berteman dekat, ya?”
                Selama beberapa menit tak ada jawaban darimu. Dalam hati aku menyesal telah mengajukan pertanyaan itu, namun tak mungkin lagi kuhapus dari kotak pembicaraan, toh kamu sudah membacanya.
                “Maksudnya?” Kau menjawab tak  lama kemudian.
                “Kamu tahu apa maksudku.” Jawabku degil.
                “Dey, apakah aturan hubungan kita sudah berubah?”
                Aku tahu pertanyaan itu akan kau lontarkan, sebab akulah orang yang memintamu menyetujui semua syaratku di awal hubungan kita. Aku merasa terjebak. Rasa di dada sungguh sulit dikompromikan dengan rasio di kepala.
                Percakapan ini sungguh menertawakan. Baru minggu lalu aku bisa bertindak sok bijaksana menasehati temanku Sheila yang muncul dengan wajah kusut ke kantor. Dia menghempaskan diri ke kursi dan berkata dengan hasrat membunuh yang begitu kentara, “Saya tak akan melupakannya. Forgive but not forgotten.”
                Kisah pengkhianatan biasa, perselingkuhan biasa, dan dituntut pemaafan yang biasa. Hanya saja Sheila tak sudi menganggapnya sebagai hal biasa. Bila tergoda, sih masih bisa ditolelir, namun bila tergoda dan mengalah pada godaan itu, dengan dasar apa pun dia tak bisa menerima.
                “Mungkin itu hanya imajinasimu, Sha.” Ujarku menyabarkan. Meja kerjanya bisa rusak bila dihantam terus menerus dengan kepalan tangannya.
                “Saya punya bukti setumpuk!” Desahnya penuh perasaan.
                “Kau telah punya setumpuk bukti untuk perselingkuhan Chris yang pertama?” Aku sungguh takjub. Sheila tak ada tanda-tanda sebagai penguntit, apalagi penyadap telepon orang.
                “Setiap kata dan momennya.” Tegasnya.
                “Dari mana?” Tanyaku.
                Sheila membeberkan semua hal yang dianggapnya bukti-bukti seperti: komentar di jejaring sosial, SMS salah kirim, bisik-bisik di telepon yang tertangkap basah, juga kiriman foto-foto melalui ponsel. Dan bukti-bukti itu semakin bertambah panjang seiring detik-detik yang kami habiskan.
                “Jadi apa yang akan kamu lakukan?”
                “Memaafkannya.”
                Aku menghela napas lega. Ternyata tak ada masalah gawat. Case’s closed.
                “Tapi…”
                Hah? Masih ada buntutnya?
                “Memaafkan tak identik dengan melupakan.”
                “Astaga, kata-katamu sungguh menyesatkan!” Protesku.
                “Mengapa?” Dia tak terima.
                “Ya, memaafkan itu berarti melupakan. Rekonsiliasi lagi, berbaikan tanpa mengingat masa lalu.”
                “Begitu?” Matanya menyorot tajam padaku.
                Aku mengangguk mantap.
                “Bagaimana kalau hal ini terjadi lagi? Bagaimana kalau dia tergoda untuk kedua kalinya?”
                “Kamu tak mempercayainya, ya?” Tanyaku.
                “Setelah dikhianati?” Alis matanya kanannya menjungkit. “Kalau menurutmu bagaimana?” Sheila malah melontarkan pertanyaan padaku. Aku merasa sebenarnya bukan pertanyaan namun ejekan atas dalilku tentang memaafkan dan melupakan.
                “Memang butuh waktu,” ucapku pelan.
                “Dan tanpa jaminan atas pengorbanan itu.”
                Aku menghela napas. Sheila menatapku masih dengan pertanyaan tentang kemungkinan pacarnya akan kembali mengkhianatinya.
                “Mungkin kamu harus memutuskannya kalau benar-benar kesal,” jawabku akhirnya. “Atau memaafkannya, lagi…, bila masih cinta.” Tambahku.
                “Mengingat?”
                Aku melengak tak mengerti.
                “Maksudmu begini, kan, aku menjadi kesal karena dia pernah berbuat hal serupa sebelumnya, dan aku memaafkannya LAGI, hanya karena masih cinta. Jadi keduanya mengacu pada hal sebelumnya, kan?” Tegasnya.
                Aduh, mengapa masalahnya menjadi sedemikian ruwet? Meski aku tahu ke mana omongannya mengarah.
                “Artinya, aku punya referensi masa lalunya, lebih jelasnya lagi aku mengingat apa yang pernah terjadi, aku tak melupakannya.”
                Aku berpikir bagaimana cara untuk membuatnya mengerti pemikiranku bahwa memaafkan berarti melupakan, seperti ujaran Jawa: Yang sudah, ya sudah. Jangan membebani langkah selanjutnya. Menurut istilah kerennya, membuka lembaran baru.
                Sementara aku masih berpikir dia melontarkan pertanyaan, “Kamu pernah punya hubungan cinta, kan Drey?”
                “Ya, iyalah, gila aja kalau engga pernah. Mana mungkin aku bisa sampai di sini tanpa mengalami percintaan?”
                “Hanya mengecheck saja, siapa tahu kamu tak merasakan cinta.Mungkin hanya sekedar rasa tertarik, namun tak benar-benar cinta yang head to toe, gitu.”
                “Hasyaaahh, pokoknya hidupku penuh kisah percintaan.” Jawabku gusar.
                “Sorry, aku hanya menyamakan persepsi dan rasa. Tak mungkin aku bicara tentang cinta pada orang yang tak pernah merasakan bagaimana jatuh dalam cinta.”
                “Okey…okey…lanjut!”
                “Aku terluka saat cintaku dinodai, rasanya seperti ditusuk dari belakang punggung saat aku memeluknya penuh cinta. Apa ada pengkhianatan yang lebih besar dari itu???”
                Gambaran yang mengiris hati. Seorang perempuan dengan penuh kasih mendekap kekasihnya, kepalanya dengan pasrah diletakkan di bahu pasangannya, sementara tangan si lelaki menggenggam sebilah pisau tajam siap dihujamkan ke punggungnya. Hmm, seharusnya aku lebih berhati-hati bicara dengan penulis. Ya, Sheila gemar menulis, walau namanya belum terkenal, namun imajinasinya telah sedemikian dahsyat mempengaruhiku.
                “Terlihat sangat culas.” Kataku.
                “Apakah aku akan bisa melupakan parut dari belati yang tertancap di punggungku, seandainya pun aku mengobatinya? Apakah aku tak curiga dan resah setiap kali dia memelukku? Aku bahkan kemungkinan tak sudi lagi dipeluk seumur hidupku karena trauma.”
                “Jangan bicara tentang trauma!” Ucapku pedas. Gagal sekali bukan menjadi halangan untuk mencoba yang kedua kalinya. Seorang pria tak seberharga itu untuk membuat seorang perempuan tak memiliki kesempatan kedua dan selanjutnya.
                “Memang maksudku tak sejauh itu. Aku hanya bicara perkara parut dan pisau yang terhujam itu!”
                “Jadi?”
                “Aku tak akan melupakannya, Drey. Sulit untuk melupakannya.”
                “Okey, tapi bila dia sudah mengaku salah dan berjanji untuk memperbaiki diri tentu harus diberikan kesempatan kedua.”
                “Aku mencintainya, Drey, masih sampai saat ini. Jadi aku masih bersamanya.”
                “Syukurlah.”
                Aku tak mengingat kisah itu, sampai aku mengalami rasa perih dalam perbincangan kita. Lalu aku yang tadinya begitu pandai berkata-kata dengan Sheila mendadak ingin bertindak serupa dengannya, sangat memahami perasaannya, dan akan melakukan apa yang telah diilakukannya.
“Kau merasa aku menusukmu dari belakang dan meninggalkan parut di punggungmu?” Pertanyaanmu membuatku butuh lebih dari dua menit untuk menjawabnya.
                “Kalau aku belum mati saat terhujam pisau di tanganmu.”
                “Kau tak akan mati, Dey. Kau perempuan kuat.”
                “Tapi aku terluka.”
                “Bila aku mengaku salah dan berjanji tak akan mengulanginya lagi, apakah kamu akan memaafkan dan melupakan kesalahanku?”
                Aku lupa kau sangat pintar memutar balikkan fakta hingga menjadi boomerang bagiku. Tapi keingintahuanmu sangat benar, paling tidak menjadi jalan bagiku untuk menyatakan pendapatku tanpa harus mengharu biru atau berdebat kasar penuh kecemburuan denganmu.
                “Kelihatannya sulit. Aku akan berusaha, tetapi pasti membutuhkan waktu yang lama.” Hatiku semakin nyeri, “Bahkan mungkin tak akan bisa.”
                “Forgive but not forgotten.”
                Harus kujawab apalagi selain kata singkat, “Ya.”
                “Aku masih ingin mengantarnya ke desa.” Tulismu sedetik kemudian.
                Walau bahasa kita tak punya cukup pronomina untuk membedakan perempuan dan laki-laki tapi aku tahu dirimu merujuk pada orang yang berada dalam bayanganku. Bahkan kini lebih definitive.
                “Aku tahu.”
                “Tapi aku akan selalu kembali padamu.”
                Mataku memanas.
                “Kelihatannya egois sekali, kan? Tapi aku jujur padamu. Aku meyukai dirimu karena bisa melihat diriku dan segala kelemahanku yang tak mungkin kuperlihatkan pada orang lain, Dey.”
                Aku mulai menyesali aturan-aturan yang kugariskan di awal hubungan kita, namun menyesalinya hanya akan memperkeruh suasana. Apalagi hubungan kita hanya ideal dalam keterbatasannya.
                “Kamu lebih dari sekedar kekasih, kamu teman terbaikku.” Tambahmu.
                Tanganku sudah menjangkau tissue di ujung meja. Ingus dan airmataku berlomba meleleh di wajah.
                “Walau aku mungkin tak akan sama lagi menyikapi perasaanmu?”
                “Aku tak memintamu melupakan perbuatanku, aku memintamu memaafkan setiap kali aku berbuat salah.”
                “Berapa banyak?”
                “Tujuh puluh kali tujuh puluh? Ah aku tak tahu, hidupku terlalu banyak kesalahan.”
                “Sampai suatu saat aku meninggalkanmu?”
                “Dan aku harus menerimanya.”
                “Hmmm, forgive but not forgotten.”
                “Ya.”
                “Aku akan berusaha.”
                “I love you, Dey.”
                Duniaku mendadak sunyi. Kesunyian yang lambat laun membawa damai.

Audrey: Masa Lalu Yang Datang Kembali


Maafkan aku, Sweetie karena meninggalkanmu di tengah percakapan kita kemarin. Bukan aku tak merindukanmu atau kisahmu tak menarik bagiku, tapi sesuatu terjadi begitu mendadak, bahkan tak memberiku kesempatan untuk bernapas barang sehelaan.
                Dear, setiap orang pasti punya masa lalu, kan? Secara tak sengaja kita berbagi kisah usang dalam setiap percakapan. Hal itu wajar saja, karena setiap babakan hidup jalin-menjalin tanpa putus sampai jantung kita berhenti berdetak suatu ketika. Tapi bagaimana perasaanmu saat masa lalu itu menyeruak kembali dalam kekinianmu? Ya, tergantung, pasti begitu jawabmu karena dirimu adalah orang paling enteng menanggapi sesuatu yang telah lampau, atau hanya aku saja yang tak tahu, bahkan tak mau tahu tentang masa silammu?
                Aku juga tak terlalu melankolis romantis menanggapi masa lampau, hanya saja ketika kenangan itu berwujud seorang lelaki yang mempunyai daya pesona mengurat akar dalam darahnya, kedatangannya sungguh menggoncangkan. Bahkan membuat jantungku berhenti berdetak sesaat.
                “Hai, Dey.” Sapanya di ponselku. Aku tak tahu dari mana dia memperoleh nomorku. Tanpa pencantuman namanya di belakang pesan itu pasti aku mengira pesan itu akal bulusmu untuk menggodaiku. Maafkan diriku untuk kedua kalinya, tapi aku sudah lupa bila kamu dan dia sama-sama memanggilku dengan sebutan: Dey. Ahhh, sungguh sebuah kebetulan.
                Setelah mendapat pesannya jiwaku jadi begitu dahaga seperti rusa di padang Sahara. Tanpa ada pretensi untuk membuatmu cemburu atau sakit hati, tapi yah, harus kukatakan bahwa goncangan kehadirannya sampai membuat tanganku gemetar memegang alat komunikasi itu. Aku bahkan harus menghapus beberapa jawaban yang sudah kutulis di layarnya hanya untuk menjawab sapaannya.
                Setelah berkali-kali kucoba, akhirnya yang kukirim hanya sebaris kalimat paling umum dan sederhana. “Hai juga. Apa khabarmu?”
                Tentu saja dia juga membalas dengan jawaban yang paling biasa. “Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”
                Lalu tak terasa kami berbalas pesan. Semakin lama semakin panjang. Semakin lama semakin memancarkan rindu masa lalu yang kiranya masih tersimpan di bawah permukaan hati kami. Tak mengherankan bukan? Kami pernah punya cerita-cerita indah bersama tentang akhir minggu di sebuah pantai paling menawan di dunia, atau kisah padang savanna penuh bunga putih kuning, juga renungan paling kami sukai menjelang senja. Tak terasa air sudah menggenangi kelopak mata.
                Aku menangis, dear. Tak jelas benar untuk apa bulir-bulir bening itu akhirnya mengalir di pipiku. Antara rindu dan pilu tak lagi bisa kubedakan. Ketika aku tergugu dan memakinya karena masih dapat menumpahkan airmataku, dibalasnya pesanku, “Kamu pikir aku tak sedang menyeka ingusku? Sialnya lagi aku lupa membawa saputangan.”
                “Kamu pasti tampak lucu dengan airmata bercucuran.” Balasku di antara tawa dan tangis.
                “Sekali-kali lelaki juga perlu menangis. Baik untuk kesehatan mata dan jiwa.”
                Aku tertawa terbahak di antara isakan yang masih tersisa. Mungkin memang nasibku selalu bertemu dengan lelaki bandel sekaligus mempesona. Dalam beberapa hal kalian sungguh tak jauh beda.
                “Sungguh menyenangkan bila seseorang melihatmu sedang berleleran ingus.” Jawabku.
                “Pasti. Aku sedang menenggelamkan diri di perpustakaan dengan lengan jaket basah seperti diguyur air comberan.”
                Aku melirik kaca ruangan kantorku yang dipenuhi mahasiswa berlalu-lalang. Kutundukkan kepala untuk mencabut tissue di depanku untuk membersihkan mata dan hidung yang pasti sudah memerah.
“Apakah kau memutuskan merindukanku setelah sekian lama?” Tanyaku antara iseng dan keinginan untuk mengipasi ego di dada.
                Jawabannya semakin menyesakkan, “Aku selalu merindukanmu, Dey. Hanya dirimu saja yang tak tahu.” Pesan berikutnya muncul sedetik kemudian, “Aku melihat fotomu di jejaring sosial, membaca tulisan-tulisanmu di berbagai situs, aku tahu banyak tentang dirimu, tapi aku tak bisa lagi menyentuhmu.”
                Aku tak mau mengakuinya, tidak segamblang lelaki itu, namun diriku pun tak jauh berbeda. Beberapa kali kudengar kisah tentangnya, walau berusaha membuat tawar rasa dalam dada, tusukan pilu masih mampu membuat hariku berubah kelabu.
                Kulontarkan lelucon yang kutahu tak lucu, “Kita memang tak tinggal di tempat yang sama, jadi bagaimana mungkin kau bisa menyentuhku?”
                “Menyentuh tubuhmu tak seberharga menyentuh jiwamu, Dey.” Balasnya.
                Mataku kembali berkaca-kaca.
                “Aku merindukan jiwamu yang indah, Dey. Bahkan dalam kesenyapan percakapan kita, aku dapat merasakan riak dan gelombangnya.”
                Tak terasa aku mengingat kembali ribuan panggilan telepon yang pernah kami lakukan. Di antara sapaan tentang kabar atau cuaca dan ucapan selamat tinggal, tak jarang terjadi jeda panjang berisi desau angin atau helaan napas. Aku yang paling sering memecah sunyi itu dengan kata-kata konyol seperti, “Halo, siaran telah usai, tolong matikan radionya.” Atau, “Tuan masih di sana kah?”
Sebagai jawaban adalah gelak panjang diikuti rayuan yang aku tahu hanya gombal tak berharga.
                “Duitmu banyak benar, ya sampai bisa dibuang-buang hanya untuk mendengar dengung dari negeri seberang.”
                “Siapa bilang aku mendengar dengungan? Aku mendengar jiwamu bernyanyi, Dey.”
                “Tapi jiwaku tak sedang bernyanyi. Jiwaku sedang kesal!”
                “Ya, aku mendengar jiwamu bernyanyi dengan kesal.”
                Oh kenangan itu. Bagaimana mungkin aku bisa mencegah hatiku tak terguncang karenanya?
                Namun sejujurnya, kami tak sudi atau tak berani benar-benar mengoyak masa lalu. Saat terakhir kami bersama sungguh menyakitkan. Masih dapat kurasakan hambarnya rasa akibat pengkhianatan yang kutemukan tanpa sengaja.
                Lelaki menarik selalu membuat banyak perempuan berpaling padanya, itu sungguh aku tahu, namun tak bisa kutolelir bila terjadi pada diriku. Ada saatnya aku begitu menginginkn perhatiannya hanya untukku, lalu saat hal itu tak bisa lagi kuperoleh jiwaku akan memberontak. Aku tak suka bertanya-tanya di mana hatinya berada bila tak sedang bersamaku. Aku tak ingin menghabiskan energiku untuk menenangkan rasa gelisah dan tak percaya pada kekasihku.
                “Apa yang sudah berlalu biarkanlah berlalu.” Tulisku.
                Jawabannya adalah sebuah panggilan telepon. Aku tak tahu harus mengangkatnya atau membiarkannya berakhir sebagai panggilan tak terjawab. Hatiku ditumbuhi kebimbangan antara ingin mendengar kembali suaranya dan ketakutan jika terpikat sekali lagi olehnya. Ternyata hasrat bertukar kata dengannya lebih besar sehingga kami tenggelam dalam pembicaraan panjang.
                “Kamu pasti harus kembali kuliah, jadi kita putuskan saja percakapan ini.” Mataku menerawang ke arah jam dinding di kantor.
                “Banyak kisah yang masih ingin kuceritakan padamu.” Tolakmu.
                “Uang sakumu selama sebulan akan habis dalam sehari untuk membayar percakapan ini.”
                Tawanya menggema. “Aku tak perduli. Aku masih menunggu sesuatu.”
                Hatiku berdetak cepat. Sejujurnya aku teringat dirimu. Walau kita belum lama bersama, namun diriku tak mungkin mengenyahkanmu hanya karena fatamorgana.
                “Tak ada lagi yang perlu kau tunggu.” Jawabku.
                “Aku tak akan memutuskan percakapan ini sebelum kau membiarkanku mendengarnya.”
                Untuk ketiga kalinya butiran air sudah mengancam di pelupuk mata.
                “Aku tak bisa.”
                Terdengar helaan napas sarat kepedihan.
                “Apakah begitu besar kesalahanku sehingga untuk mendengar tawamu pun aku tak layak?”
                Dan genangan yang berusaha kutahan itu kembali meluncur ke pipi. Aku tertawa sambil terisak-isak. Sungguh terdengar aneh bahkan untuk telingaku sendiri.
                “Terima kasih, Dey.” Ujarnya dengan suara tercekat.
                Sambungan terputus diikuti kesunyian yang panjang.
                Sayangku, hingga kini perasaanku masih terombang-ambing seperti lautan yang dihajar badai, karenanya aku meminta waktu beberapa saat untuk menenteramkannya. Bukan berarti badai itu telah mengubah lautan, namun biarlah dia berlalu tanpa membuat kerusakan.
                Lalu ketika mentari bersinar indah kembali, bolehkan aku meminta satu hal darimu?
                Tolonglah, aku ingin kembali mendengar suaramu.

Audrey: It's Saturday Night, Babe!


Apa artinya Sabtu malam bagiku? Sebenarnya bila benar-benar ditarik garis ke masa lampau, tentu Sabtu malam menjadi waktu yang sangat special. Paling tidak di malam itu aku tak harus belajar, boleh tidur lebih malam, dan bisa menonton TV sampai puas. Tapi itu, kan masa lalu. Jadi apa artinya Sabtu malam bagiku sekarang? Jawabannya cuma satu, aku menantikan dirimu!
                Aku tahu kamu pasti tertawa dan berkata, “Norak, ah kamu! Masa sudah sedewasa ini, masih mengharapkan Sabtu malam, sih?” Yaa, tapi dirimu dan aku, kan juga sibuk setiap harinya hingga waktu luang kita yang benar-benar luang hanya Sabtu malam. Mau tak mau aku sedikit memaksa dengan penuh harapan bahwa dirimu akan menggunakan waktu luang itu untuk bercengkerama denganku di dunia antah berantah kita.
                Sebagai seorang yang telah matang, belum lagi ditambah perjanjian prenup, oppssss, seperti mau menikah saja, maksudku perjanjian di awal kebersamaan kita, jadi apa tuh namanya? Pre relationship kita, sudah disepakati untuk membebaskan masing-masing pihak dengan ikhlas, memerdekakan diri seluas-luasnya, asal jangan memutuskan kontak tanpa berita. Jadi sebenarnya memang norak mengharapkan Sabtu malam bersama. Bagaimana seandainya teman-temanmu mendadak muncul dan mengajakmu ke pub universitas atau sekedar keliling cuci mata melihat benda-benda kincling lalu lalang di pusat kota? Sementara aku, yang tinggal di kota kecil dan semua kegiatan berakhir pada jam tujuh malam, hanya bisa menggigiti kuku jari tangan sambil berharap, “Please…please…onlinelah!!!.” Hmmm…agak terasa memelas, ya?
                Tapi kondisiku yang kelihatan patut dikasihani sebenarnya masih lebih baik dibanding temanku, Lucinda, yang mengharuskan pacarnya untuk setor wajah setiap Sabtu malam. Apakah dirimu tahu alasannya? Well, aku ngakak ketika pertama tahu. Dia bilang Sabtu malam adalah saat dia bisa tampil paling cantik. Auranya akan paling cerah sehingga wajahnya akan tampak mempesona. Aku tahu kamu tak percaya hal-hal aneh seperti itu, aku juga tidak, namun demikianlah Lucinda. Sampai suatu ketika aku mempersoalkan kepercayaannya yang tak biasa itu. Dan jawabannya adalah masalah bioritmik.
                “Percayalah, Drey. Setiap orang punya bioritmik masing-masing yang mempengaruhi performanya. Nah, rata-rata bioritmikku menunjukkan puncak performaku pada Sabtu malam.”
                Wah, setahuku bioritmik itu baru penting untuk atlit, karena sewaktu menonton pertandingan bulutangkis dulu, pernah ditunjukkan bagaimana bioritmik seorang pemain mempengaruhi jalannya pertandingan. Tapi entahlah aku tak begitu memperhatikan juga.
                “Kamu percaya begituan?” Tanyaku skeptis.
                “Kenapa tidak? Hal ini, kan dikaji dengan ilmu pengetahuan juga, Babe!”
                Aku hampir tertawa ngakak. Bukan oleh jawaban pertanyaannya, namun oleh caranya memanggil diriku dengan Babe.
                Seingatku dirimu tak pernah memanggilku dengan istilah Babe beserta variannya seperti, baby atau beib. Apa kiranya sudah saatnya, ya diriku memintamu memanggil demikian? Hey…hey…jangan tertawa! Panggilan itu memang terkesan imut dan “sangat bukan diriku” tapi kadang-kadang kejutan bisa menyegarkan suasana. Ya, katakanlah aku bisa ngakak saat dirimu meneleponku sambil berujar, “Hai, Babe.”
                Lucinda selalu dipanggil demikian oleh pacarnya. Sebenarnya dia mengharuskan pacarnya menggunakan panggilan itu. Bagaimana bila sampai telat atau terlupa.
Bisa dipastikan mereka akan perang besar, lebih hebat dari perang dunia ketiga yang kemungkinan bisa memusnahkan umat manusia karena senjata nuklirnya. Minggu lalu baru aku tahu bila kealpaan Sabtu malam dianggap serius dan kisahnya dicatat dalam rekam jejak diarynya yang disodorkan padaku. Jangan salah, sebagai cewek yang canggih, diarynya bukan buku bersampul pink dengan kunci di pinggirnya sebagai segel, tapi sebuah iPad canggih bersampul kulit. Tangannya digeser-geserkan ke atas benda itu karena system touchscreennya, dan sebuah file disodorkan padaku.
“Biar aku yang mengoperasikannya!” Pekiknya begitu aku melongokkan kepala ke depan benda itu.
Yailah, kenapa sampai histeris begitu? Tanganku memang baru saja mencomot gorengan, tapi aku tahu juga, dong untuk tak mencolekkan jariku yang berminyak ke atas tablet miliknya, dengan sengaja tentunya, bila tersenggol, tentu tak masuk hitungan!
Di atas tablet kinclong tersebut kutemukan catatan absen mengapa pacarnya tak hadir Sabtu kemarin beserta alasannya, lalu komentar Lucinda tentang ketidakhadiran itu, beserta sebuah catatan. Ya, benar-benar catatan! Di situ tertera bahwa telah terjadi pelanggaran sebanyak dua kali. Bila sekali lagi terjadi sanksi akan dijatuhkan. Dan sanksinya adalah, “Tak boleh menemuiku selama sebulan, tak boleh menelepon, meninggalkan pesan, atau mencari tahu tentang diriku pada teman-temanku!”
Lho, bukankah hal itu justru akan menyenangkan pacarnya. Selama ini pacar Lucinda pasti merasa terborgol oleh aturan yang agak tak masuk akal orang kebanyakan namun sangat masuk nalar Lucinda. Menurutku, pacarnya itu pasti menunggu-nunggu untuk melakukan pelanggaran ketiganya. Dan ancaman hukuman sebulan itu pasti berubah jadi anugerah buatnya.
“Lelaki juga punya rasa kangen, Dey. Biarpun tak diutarakan dengan kata-kata.” Ujarmu suatu ketika.
“Berarti kamu kangen juga denganku, ya?” Ajukku.
“Kan, tak harus diungkapkan dengan kata-kata.” Jawabmu dengan tambahan ketawa panjang.
Aahhh, bandelmu tak berkurang juga.
 Kembali pada Lucinda yang  masing mengusap-usap tabletnya, dia kini tengah membuka jejaring sosial untuk menemui kekasihnya. Sebenarnya hal ini selalu membuatnya desperate karena lelaki itu tak pernah muncul di saat yang sama dengannya. Ya, agak mirip denganmu juga, sih. Hanya saja aku selalu merasa bahwakita tak harus saling memborgol tangan dan kaki karena hubungan semacam itu akan sangat membosankan dan kehilangan daya tariknya.
                “Uhhhh, kemana saja, sih lelaki ini? Aku baru saja melihat ikonnya, koq mendadak menghilang?” Gerutunya sembari mencari-cari telepon di dalam tas brandednya. Di kantorku ini hanya Lucindalah satu-satunya perempuan yang menenteng tas branded. Lalu dengan wajah terlipat-lipat seperti kertas contekan para mahasiswa yang biasanya diselipkan di saku mereka menjelang ujian, perempuan itu mulai meletakkan telepon di telinga.
                “Halo? Babe? Di mana dirimu?”
                Ya, tentu saja di kantor, Babe. Pasti demikian jawaban pacar Lucinda karena wajah kusutnya sedikit terurai.
                “Tapi mengapa kamu offline sementara aku baru saja akan menyapamu.”
                Maaf aku sibuk…buukk…dan hanya mampir sebentar.
                “Tapi, aku kan ingin mengingatkanmu sesuatu.”
                Pacarnya pasti mulai waspada karena wajah Lucinda sudah berubah ruwet kembali.
                “Ingat, sekarang hari Sabtu.”
                Pacarnya pasti berlagak lupa atau mengatakan alasan ketidakhadirannya nanti malam karena Lucinda menatap jarum jam yang telah menunjukkan angka dua sambil melolong putus asa, “It’s Saturday night, Babe! Saturday night!” Ditekankannya kata-kata terakhir.
                Gubrak! Dalam arti kata sebenarnya dia melemparkan ponsel seharga sebulan gajiku itu ke atas meja. Aku sudah deg-degan benda itu akan cedera berat dan error saat digunakan. Tapi peristiwa horror masih berlanjut ketika kulihat Lucinda akan melemparkan juga iPadnya. Tentu saja aku segera bertindak cepat! Kutepis tangannya dan kuraih benda mulus kincling itu dengan tanganku. Di tengah kegugupanku tak kusadari dampak minyak bekas tempe goreng yang kunikmati.
                Akhir cerita pasti bisa ditebak, Dear. Lucinda akan melego gadget canggih itu akibat minyak tempe goreng yang menempel di atasnya. Dan aku yang merasa bertanggungjawab harus mengencangkan ikat pinggang sekencang-kencangnya untuk bisa membelinya. Kelihatannya dengan beberapa bujukan dia akan memberiku kesempatan beberapa bulan ke depan untuk memilikinya.
                Tapi sementara ini, bolehkah aku mengutarakan harapanku, Sweetie? Please…please…aku ingin malam nanti dapat bertemu denganmu di depan layar kaca. It’s Saturday night, Babe!