Siang ini aku melihatmu begitu ceria. Sapaan dan bicaramu sangat bersemangat. Aku tak ingin menelisik apa yang tengah terjadi, mungkin hasil ujianmu bagus atau kau telah memenangkan lotere berhadiah uang segunung.
“Kau tahu, aku senang akhirnya bisa melalui semester ini dengan baik. Walau sedikit menderita dengan bahasa pengantar yang asing, tapi hasilnya tak mengecewakan.” Riak kegembiraan itu semakin membesar saja menari-nari di depan mataku.
“Hmm, ceritanya pamer, nih.”
Ketawa panjangmu kali ini tak memunculkan senyum di bibirku.
“Ah, aku hanya pamer denganmu.”
“Yang benar, nih?”
“Hmmm, ya begitulah.”
Aku tahu kamu berbohong. Bayangan percakapan akrabmu dengan seorang perempuan yang tak kukenal tetapi menjengkelkanku terbayang kembali. Namun aku berusaha mengusir perasaan itu sesegera kehadirannya. Aku tak ingin bertindak bodoh dengan membiarkan perasaanku tak menentu. Apalagi bila semuanya hanya didasarkan pada dugaan.
“Jadi dirimu pasti mempunyai lebih banyak waktu untuk melanglang dunia antah berantah kita, kan?” Tanyaku berusaha menumbuhkan harapan.
“Ah, tak selalu begitu. Ada beberapa hal yang harus kukerjakan.”
“Misalnya?”
“Aku harus mengantar salah seorang teman ke suatu kampung.”
Mendadak hatiku tercekat, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata, namun terasa nyeri di ulu hati.
“Teman kuliah, ya?” Tanyaku ragu.
“Ya.”
` Entah mengapa aku tahu benar siapa yang kaumaksud. Mungkin semacam naluri hewani karena teritorinya terganggu, mungkin karena tanda-tandanya telah kulihat secara samar-samar, mungkin karena dia selalu ada dalam satu bingkai foto denganmu (sesungguhnya aku menyesal telah mengikuti hasrat hatiku untuk menyimak satu per satu fotomu), mungkin juga karena aku masih teringat percakapanmu dengan perempuan itu tentang perjalanan ke sebuah tempat yang kalian sebut dengan desa di lereng gunung yang masih bersalju di awal musim ini. Ah, begitu banyak kemungkinan yang akhirnya aku anggap sebagai bukti-bukti yang mendukung kecurigaan. Dan semua kesalahan aku tumpukan pada daya ingatku, ya satu hal paling membantuku sekaligus kadang juga membuatku menderita adalah kemampuan mengingatku yang tajam, terutama bila menyangkut memori jangka panjang dari hal-hal yang aku anggap penting atau menarik perhatianku.
“Ehm, kalian berteman dekat, ya?”
Selama beberapa menit tak ada jawaban darimu. Dalam hati aku menyesal telah mengajukan pertanyaan itu, namun tak mungkin lagi kuhapus dari kotak pembicaraan, toh kamu sudah membacanya.
“Maksudnya?” Kau menjawab tak lama kemudian.
“Kamu tahu apa maksudku.” Jawabku degil.
“Dey, apakah aturan hubungan kita sudah berubah?”
Aku tahu pertanyaan itu akan kau lontarkan, sebab akulah orang yang memintamu menyetujui semua syaratku di awal hubungan kita. Aku merasa terjebak. Rasa di dada sungguh sulit dikompromikan dengan rasio di kepala.
Percakapan ini sungguh menertawakan. Baru minggu lalu aku bisa bertindak sok bijaksana menasehati temanku Sheila yang muncul dengan wajah kusut ke kantor. Dia menghempaskan diri ke kursi dan berkata dengan hasrat membunuh yang begitu kentara, “Saya tak akan melupakannya. Forgive but not forgotten.”
Kisah pengkhianatan biasa, perselingkuhan biasa, dan dituntut pemaafan yang biasa. Hanya saja Sheila tak sudi menganggapnya sebagai hal biasa. Bila tergoda, sih masih bisa ditolelir, namun bila tergoda dan mengalah pada godaan itu, dengan dasar apa pun dia tak bisa menerima.
“Mungkin itu hanya imajinasimu, Sha.” Ujarku menyabarkan. Meja kerjanya bisa rusak bila dihantam terus menerus dengan kepalan tangannya.
“Saya punya bukti setumpuk!” Desahnya penuh perasaan.
“Kau telah punya setumpuk bukti untuk perselingkuhan Chris yang pertama?” Aku sungguh takjub. Sheila tak ada tanda-tanda sebagai penguntit, apalagi penyadap telepon orang.
“Setiap kata dan momennya.” Tegasnya.
“Dari mana?” Tanyaku.
Sheila membeberkan semua hal yang dianggapnya bukti-bukti seperti: komentar di jejaring sosial, SMS salah kirim, bisik-bisik di telepon yang tertangkap basah, juga kiriman foto-foto melalui ponsel. Dan bukti-bukti itu semakin bertambah panjang seiring detik-detik yang kami habiskan.
“Jadi apa yang akan kamu lakukan?”
“Memaafkannya.”
Aku menghela napas lega. Ternyata tak ada masalah gawat. Case’s closed.
“Tapi…”
Hah? Masih ada buntutnya?
“Memaafkan tak identik dengan melupakan.”
“Astaga, kata-katamu sungguh menyesatkan!” Protesku.
“Mengapa?” Dia tak terima.
“Ya, memaafkan itu berarti melupakan. Rekonsiliasi lagi, berbaikan tanpa mengingat masa lalu.”
“Begitu?” Matanya menyorot tajam padaku.
Aku mengangguk mantap.
“Bagaimana kalau hal ini terjadi lagi? Bagaimana kalau dia tergoda untuk kedua kalinya?”
“Kamu tak mempercayainya, ya?” Tanyaku.
“Setelah dikhianati?” Alis matanya kanannya menjungkit. “Kalau menurutmu bagaimana?” Sheila malah melontarkan pertanyaan padaku. Aku merasa sebenarnya bukan pertanyaan namun ejekan atas dalilku tentang memaafkan dan melupakan.
“Memang butuh waktu,” ucapku pelan.
“Dan tanpa jaminan atas pengorbanan itu.”
Aku menghela napas. Sheila menatapku masih dengan pertanyaan tentang kemungkinan pacarnya akan kembali mengkhianatinya.
“Mungkin kamu harus memutuskannya kalau benar-benar kesal,” jawabku akhirnya. “Atau memaafkannya, lagi…, bila masih cinta.” Tambahku.
“Mengingat?”
Aku melengak tak mengerti.
“Maksudmu begini, kan, aku menjadi kesal karena dia pernah berbuat hal serupa sebelumnya, dan aku memaafkannya LAGI, hanya karena masih cinta. Jadi keduanya mengacu pada hal sebelumnya, kan?” Tegasnya.
Aduh, mengapa masalahnya menjadi sedemikian ruwet? Meski aku tahu ke mana omongannya mengarah.
“Artinya, aku punya referensi masa lalunya, lebih jelasnya lagi aku mengingat apa yang pernah terjadi, aku tak melupakannya.”
Aku berpikir bagaimana cara untuk membuatnya mengerti pemikiranku bahwa memaafkan berarti melupakan, seperti ujaran Jawa: Yang sudah, ya sudah. Jangan membebani langkah selanjutnya. Menurut istilah kerennya, membuka lembaran baru.
Sementara aku masih berpikir dia melontarkan pertanyaan, “Kamu pernah punya hubungan cinta, kan Drey?”
“Ya, iyalah, gila aja kalau engga pernah. Mana mungkin aku bisa sampai di sini tanpa mengalami percintaan?”
“Hanya mengecheck saja, siapa tahu kamu tak merasakan cinta.Mungkin hanya sekedar rasa tertarik, namun tak benar-benar cinta yang head to toe, gitu.”
“Hasyaaahh, pokoknya hidupku penuh kisah percintaan.” Jawabku gusar.
“Sorry, aku hanya menyamakan persepsi dan rasa. Tak mungkin aku bicara tentang cinta pada orang yang tak pernah merasakan bagaimana jatuh dalam cinta.”
“Okey…okey…lanjut!”
“Aku terluka saat cintaku dinodai, rasanya seperti ditusuk dari belakang punggung saat aku memeluknya penuh cinta. Apa ada pengkhianatan yang lebih besar dari itu???”
Gambaran yang mengiris hati. Seorang perempuan dengan penuh kasih mendekap kekasihnya, kepalanya dengan pasrah diletakkan di bahu pasangannya, sementara tangan si lelaki menggenggam sebilah pisau tajam siap dihujamkan ke punggungnya. Hmm, seharusnya aku lebih berhati-hati bicara dengan penulis. Ya, Sheila gemar menulis, walau namanya belum terkenal, namun imajinasinya telah sedemikian dahsyat mempengaruhiku.
“Terlihat sangat culas.” Kataku.
“Apakah aku akan bisa melupakan parut dari belati yang tertancap di punggungku, seandainya pun aku mengobatinya? Apakah aku tak curiga dan resah setiap kali dia memelukku? Aku bahkan kemungkinan tak sudi lagi dipeluk seumur hidupku karena trauma.”
“Jangan bicara tentang trauma!” Ucapku pedas. Gagal sekali bukan menjadi halangan untuk mencoba yang kedua kalinya. Seorang pria tak seberharga itu untuk membuat seorang perempuan tak memiliki kesempatan kedua dan selanjutnya.
“Memang maksudku tak sejauh itu. Aku hanya bicara perkara parut dan pisau yang terhujam itu!”
“Jadi?”
“Aku tak akan melupakannya, Drey. Sulit untuk melupakannya.”
“Okey, tapi bila dia sudah mengaku salah dan berjanji untuk memperbaiki diri tentu harus diberikan kesempatan kedua.”
“Aku mencintainya, Drey, masih sampai saat ini. Jadi aku masih bersamanya.”
“Syukurlah.”
Aku tak mengingat kisah itu, sampai aku mengalami rasa perih dalam perbincangan kita. Lalu aku yang tadinya begitu pandai berkata-kata dengan Sheila mendadak ingin bertindak serupa dengannya, sangat memahami perasaannya, dan akan melakukan apa yang telah diilakukannya.
“Kau merasa aku menusukmu dari belakang dan meninggalkan parut di punggungmu?” Pertanyaanmu membuatku butuh lebih dari dua menit untuk menjawabnya.
“Kalau aku belum mati saat terhujam pisau di tanganmu.”
“Kau tak akan mati, Dey. Kau perempuan kuat.”
“Tapi aku terluka.”
“Bila aku mengaku salah dan berjanji tak akan mengulanginya lagi, apakah kamu akan memaafkan dan melupakan kesalahanku?”
Aku lupa kau sangat pintar memutar balikkan fakta hingga menjadi boomerang bagiku. Tapi keingintahuanmu sangat benar, paling tidak menjadi jalan bagiku untuk menyatakan pendapatku tanpa harus mengharu biru atau berdebat kasar penuh kecemburuan denganmu.
“Kelihatannya sulit. Aku akan berusaha, tetapi pasti membutuhkan waktu yang lama.” Hatiku semakin nyeri, “Bahkan mungkin tak akan bisa.”
“Forgive but not forgotten.”
Harus kujawab apalagi selain kata singkat, “Ya.”
“Aku masih ingin mengantarnya ke desa.” Tulismu sedetik kemudian.
Walau bahasa kita tak punya cukup pronomina untuk membedakan perempuan dan laki-laki tapi aku tahu dirimu merujuk pada orang yang berada dalam bayanganku. Bahkan kini lebih definitive.
“Aku tahu.”
“Tapi aku akan selalu kembali padamu.”
Mataku memanas.
“Kelihatannya egois sekali, kan? Tapi aku jujur padamu. Aku meyukai dirimu karena bisa melihat diriku dan segala kelemahanku yang tak mungkin kuperlihatkan pada orang lain, Dey.”
Aku mulai menyesali aturan-aturan yang kugariskan di awal hubungan kita, namun menyesalinya hanya akan memperkeruh suasana. Apalagi hubungan kita hanya ideal dalam keterbatasannya.
“Kamu lebih dari sekedar kekasih, kamu teman terbaikku.” Tambahmu.
Tanganku sudah menjangkau tissue di ujung meja. Ingus dan airmataku berlomba meleleh di wajah.
“Walau aku mungkin tak akan sama lagi menyikapi perasaanmu?”
“Aku tak memintamu melupakan perbuatanku, aku memintamu memaafkan setiap kali aku berbuat salah.”
“Berapa banyak?”
“Tujuh puluh kali tujuh puluh? Ah aku tak tahu, hidupku terlalu banyak kesalahan.”
“Sampai suatu saat aku meninggalkanmu?”
“Dan aku harus menerimanya.”
“Hmmm, forgive but not forgotten.”
“Ya.”
“Aku akan berusaha.”
“I love you, Dey.”
Duniaku mendadak sunyi. Kesunyian yang lambat laun membawa damai.